GURUKU SAYANG DIBUANG JANGAN
Rahmat Heldy HS
Novel
dengan judul “Guruku sayang dibuang jangan” karya Rahmat Heldy HS adalah sebuah
novel yang dari awal sudah membuat saya merasa penasaran, ketika membaca judulnya saja saya sudah tak
sabaran untuk mengartikannya, sehingga timbullah pertanyaan dalam hati saya. Mengapa
novel ini diberi judul “Guruku Sayang Dibuang Jangan”? bahkan saya merasa aneh
ketika ada kata “guruku”, padahal dalam novel ini penulis menceritakan
perjalanan Rapie sebagai mahasiswa bukan sebagai guru, Tapi pertanyaan tersebut
terjawab sudah ketika saya membaca novel ini sampai beres dan diperkuat oleh kata pengantar dari Mas Gong. Ternyata judul
awal dari novel ini adalah “Kuteriakan Cintaku di Speaker Mesjid”, setelah saya
tahu, saya jadi ingin tertawa dengan judul awal novel ini, saya langsung
berimajinasi, ketika Rapie menggunakan speaker
mesjid untuk mengatakan cintanya pada Padma sedangkan anak DKM akan menggunakan
speaker untuk adzan, bisa-bisa terjadi trategi perebutan speaker seperti yang di lakukan kandidat Presma dengan Rektor yang
akan memberikan sambutan ketika acara Peduli Kampus 2011, sungguh lucu saat
saya menyaksikannya.
Awalnya
saya bukan seorang yang “kutu buku”
apalagi bercita-cita menjadi seorang penulis, namun novel ini memberi saya
motivasi lebih untuk belajar menulis karena apa yang diceritakan oleh penulis
tak berbeda jauh dengan kisah hidup saya, jadi tak percuma saya membaca novel
ini meski sudah menyita waktu saya selama enam hari belakangan ini. Saat berada
di kantin, di PKM DIKSATRASIA, hingga ke kelas pun saya membawa buku ini dan
membuat saya lupa membawa buku mata kuliah lain. Ketika Rapie memberikan puisi
untuk Padma, saya jadi punya inisiatif untuk membuat sebuah cerpen untuk wanita
yang tak perlu saya sebutkan namanya. Berkat novel ini saya jadi berani untuk
menulis sebuah cerpen dan memberikan cerpen itu kepada mahasiswi jurusan B. Inggris,
meski ujung-ujungnya sama saja dengan nasib yang dialami Rapie, kecewa!, tapi
tak mengapa, itu semua membuat saya semakin ingin menuliskan kepedihan saya
kedalam sebuah cerita seperti yang dilakukan oleh penulis dalam novel ini.
Dalam
novel ini, penulis yang biasa dipanggil Kang Rahel oleh anak-anak Kubah Budaya
menceritakan sebuah pengalaman pribadinya ketika ia mengenyam pendidikan di
Untirta. Saya melihat ada beberapa nama dosen yang disamarkan dalam cerita ini.
Sepertinya saya mengenal sosok dosen yang sering disebut-sebut dalam novel ini
seperti Pak Waher dengan batu akiknya, Pak Arwan dengan materi-materi gombalnya
dan semoga saya tidak salah membayangkan siapa dosen yang diceritakan oleh Kang
Rahel dan mungkin jika dosen tersebut sempat membaca novel ini, maka mereka
akan tertawa dan merasa sedikit jengkel karena beberapa kekonyolannya
terbongkar ketika sedang mengajar mahasiswanya dan mencoba menggoda pelayan
kantin, saya jadi tertawa sendiri ketika menemukan kutipan seperti ini:
”Dan yang membuat Pak Waher tak mau meninggalkan
kantin itu adalah kaos pelayan dan celananya yang ketat padat dan berisi. Ada
remis-remis bulu di atas bibirnya” (halaman 84).
Saya
menjadi geli sendiri dengan pernyataan diatas, “kok ada yah dosen seperti itu?” tapi itu memang ada di kampus
Untirta ini, bahkan ada yang terang-terangan menggoda mahasiswinya saat KBM
berlangsung. Mungkin manusiawi juga untuk seorang lelaki yang senang melihat
keindahan duniawi. Terkadang saya risih
juga kalau sudah memandang kecantikan dalam penilaian di kelas, laki-laki
biasanya menjadi korban.
Adakalanya
ketika saya membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca kisah saya
sendiri yang diceritakan oleh penulis, mulai dari mengalami kesulitan keuangan
saat kuliah, tergila-gila pada seorang wanita yang bertemu dalam tanpa sengaja
dalam sebuah bis, perasaan yang bergejolak saat mulai menyukainya, bahkan
dengan memberikan sebuah karya untuk seorang wanita dan dengan akhir yang sama
yaitu kecewa yang dirasakan, hanya yang membedakannya itu latar belakang
keluarganya saja berbeda karena orang tua saya bukan seorang Petani.
Saya
rasa cerita dalam novel ini adalah cerita tentang kehidupan nyata Kang Rahel
sendiri, karena tokoh Rapie disini begitu hidup dan terkesan tanpa rekayasa,
seperti bukan sebuah fiksi tapi sebuah catatan kehidupan Si penulis yang
dituangkan ke dalam sebuah cerita. novel ini menjadi menarik ketika penulis
menceritakan kisah percintaan Rapie dengan Padma dengan latar belakang yang
berbeda, inilah yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari, cinta kandas
karena kondisi ekonomi, si kaya dan si miskin takkan bisa bersatu seperti
langit dan bumi yang mempunyai jarak. Bukan hanya itu, tetapi sebuah lika-liku
kehidupan yang dialami oleh Rapie dapat menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi
pembaca, terutama saya sendiri yang mempunyai tekad yang sama seperti Rapie.
Saya
sungguh terkesan akan perjalanan hidup Kang Rahel yang tak pernah menyerah
untuk merubah garis kehidupannya. Hal ini menyadarkan saya untuk terus berusaha
mewujudkan mimpi-mimpi untuk menjadi seorang penulis dan dosen, meski silsilah
keluarga saya tak ada yang menjadi seorang penulis tapi saya harus menjadi
seorang penulis dan karya saya akan menjadi kado ulang tahun untuk Ibuku, tapi
entah ulang tahun yang keberapa. Hanya butuh waktu untuk mewujudkannya dan
semoga saya bisa belajar dari pengalaman Kang Rehel dalam novel ini, karena
novel ini begitu hidup dengan fakta-fakta yang ada dan sangat mudah untuk
dicerna oleh saya yang menjadi pembaca.
Saya
pernah menyindir orang tua saya dengan novel ini, saya pernah mengatakan kalau
orang yang menulis novel ini adalah seorang anak petani, bukan anak seorang
yang kaya, jadi bukan hal yang mustahil kalau saya pun akan menjadi seorang
penulis seperti Kang Rahel, selama saya masih mau belajar, berusaha dan berdoa.
Ada kutipan yang sama persis dengan perkataan orang tuaku, ketika saya selalu
pulang malam dari kampus.
“sekolah sampai magrib, pekerjaan yang lain mau
dikemanakan? Karena ketidaktahuan bapak, kuliah dianggapnya sama dengan
sekolah. Barangkat pagi pulang ba’da dzuhur. Aku diam atas ketidakmengertian
bapak mengenai bangku kuliah. ia tidak tahu jam dan pelajaran di kampus.” (halaman 25).
Apa
yang Kang Rahel pikirkan ketika itu, sama halnya dengan apa yang saya pikirkan
saat mendengarkan perkataan orang tuaku, saya juga merasa kesal dengan
pernyataan mereka yang terkadang berfikiran negatif saat saya pulang hingga
larut malam, tapi saya mencoba menjelaskan semuanya dengan memberikan
pengertian kalau sekolah dengan kuliah itu sangat berbeda.
Novel
yang berlatarkan tempat di kampus Untirta, sangat memudahkan saya untuk masuk
lebih cepat kedalam isi cerita, karena bisa langsung membayangkan tempat yang
diceritakan dalam novel ini, bahkan saya melayang dengan imajinasi saya
terhadap tempat tersebut, seperti pos penjaga gerbang, saya langsung teringat
pada Pak Adit satpam Untirta yang sudah standby
dengan kartu parkir bertuliskan 1000 rupiah, pohon ketapang yang selalu
ramai dengan Stand LDK tetapi
bayangan saya terhenti ketika membaca kutipan berikut: “Padma
meninggalkanku di depan Fakultas Bahasa dan Sastra itu” (halaman 61).
Dari
kutipan diatas saya langsung berfikir, memang di Untirta ada Fakultas Bahasa
dan Sastra? Mungkinkah ini keteledoran penulis dalam menyebutkan salah satu
nama tempat di Untirta. Gara-gara kutipan di atas, saya harus membaca ulang
kalimat tersebut beberapa kali, untuk memastikan saya tidak salah memahami maksud
dari bacaan tersebut.
Pada
lembar-lembar berikutnya, Saya kurang sependapat dengan Kang Rahel saat
menceritakan kejadian mendatangi kiyai di Banten dan kiyai itu yang sudah bisa
menebak maksud dan tujuannya datang kepadanya, biasanya Kiayi tak menunjukkan
kesaktiannya secara langsung. Mungkin saja Kang Rahel keliru dalam membedakan
antara kesaktian Kiyai dengan kesaktian Dukun dan yang saya tahu Kiayi tidak
seperti itu. Kiyai lebih terlihat santai dan penuh wibawa, berbeda dengan
karakter seorang Kiayi yang diceritakan dalam novel ini.
Ada
hal yang saya kurang suka dalam novel ini, karena tokoh Rapie yang terlalu
mengambing-hitamkan perihnya kehidupan yang dialaminya, apapun yang terjadi
pada dirinya, Rapie terkesan selalu menyalahkan nasibnya sebagai anak seorang
petani miskin, seperti saat menyimpan perasaannya kepada Padma, dia berfikir
dia tak pantas untuknya karena keadaan keluarganya yang serba tak punya.
Padahal menurut saya, perasaan suka itu wajar saja, datang tanpa diminta dan
tidak membedakan kaya atau miskinya. Sehingga tokoh Rapie disini terlihat
berlebihan dalam mengartikan sebuah kehidupan. Aku melihat Rapie yang cengeng
untuk masalah perasaan, terlalu melankolis untuk seorang lelaki yang besar
dikerasnya kehidupan. Selain dari itu, ada beberapa cerita yang tidak
diteruskan oleh Kang Rahel dalam novel ini sehingga saya merasa ambigu dalam
mengartikan jalan ceritanya dan saya rasa ada judul kecil yang tidak terlalu
penting untuk diceritakan, mungkin lebih baik digabungkan dengan judul kecil
ada di halaman selanjutnya karena tidak ada hubungan dengan judul kecil yang
ada di halaman berikutnya.
Perasaanku
ketika saya membaca novel ini seperti perasaan saat menaiki halilintar di Dufan, membuat perasaan
saya naik turun, yang awalnya sedih karena kehidupan Rapie yang sulit, adiknya
yang kabur dari rumah dan perasaannya yang sakit karena Padma, lantas saya
merasa termotivasi oleh ketekunannya, tertawa sendiri karena kelakuan tokoh
dalam novel ini, saya kembali merasa sedih, iba dan tertawa sendiri lagi,
sehingga orang tua saya yang memerhatikan menyangka saya ‘gila’ sambil tertawa,
mencoba mengejek saya yang sedang asik membaca novel ini dan penuh ekspresif,
saya ‘gila’ karena novel ini.
Secara
keseluruhan, saya senang membaca novel ini karena ceritanya begitu nyata dengan
menggunakan setting tempat yang tak asing lagi bagi mahasiswa Untirta, terutama
saya yang hampir setiap hari ada di kampus, kecuali Minggu. Dengan kelebihan
itulah novel ini menjadi mudah dicerna dan dimengerti oleh pembaca dengan
cerita yang mengalir jika dibaca sehingga tak perlu memakan waktu yang lama
untuk menyelesaikannya.
0 komentar:
Posting Komentar