Jumat, 21 Oktober 2011

Guruku Sayang Dibuang Jangan




GURUKU SAYANG DIBUANG JANGAN
Rahmat Heldy HS

Novel dengan judul “Guruku sayang dibuang jangan” karya Rahmat Heldy HS adalah sebuah novel yang dari awal sudah membuat saya merasa penasaran,  ketika membaca judulnya saja saya sudah tak sabaran untuk mengartikannya, sehingga timbullah pertanyaan dalam hati saya. Mengapa novel ini diberi judul “Guruku Sayang Dibuang Jangan”? bahkan saya merasa aneh ketika ada kata “guruku”, padahal dalam novel ini penulis menceritakan perjalanan Rapie sebagai mahasiswa bukan sebagai guru, Tapi pertanyaan tersebut terjawab sudah ketika saya membaca novel ini sampai beres dan diperkuat oleh  kata pengantar dari Mas Gong. Ternyata judul awal dari novel ini adalah “Kuteriakan Cintaku di Speaker Mesjid”, setelah saya tahu, saya jadi ingin tertawa dengan judul awal novel ini, saya langsung berimajinasi, ketika Rapie menggunakan speaker mesjid untuk mengatakan cintanya pada Padma sedangkan anak DKM akan menggunakan speaker untuk adzan, bisa-bisa terjadi trategi perebutan speaker seperti yang di lakukan kandidat Presma dengan Rektor yang akan memberikan sambutan ketika acara Peduli Kampus 2011, sungguh lucu saat saya menyaksikannya.
Awalnya saya bukan seorang yang “kutu buku” apalagi bercita-cita menjadi seorang penulis, namun novel ini memberi saya motivasi lebih untuk belajar menulis karena apa yang diceritakan oleh penulis tak berbeda jauh dengan kisah hidup saya, jadi tak percuma saya membaca novel ini meski sudah menyita waktu saya selama enam hari belakangan ini. Saat berada di kantin, di PKM DIKSATRASIA, hingga ke kelas pun saya membawa buku ini dan membuat saya lupa membawa buku mata kuliah lain. Ketika Rapie memberikan puisi untuk Padma, saya jadi punya inisiatif untuk membuat sebuah cerpen untuk wanita yang tak perlu saya sebutkan namanya. Berkat novel ini saya jadi berani untuk menulis sebuah cerpen dan memberikan cerpen itu kepada mahasiswi jurusan B. Inggris, meski ujung-ujungnya sama saja dengan nasib yang dialami Rapie, kecewa!, tapi tak mengapa, itu semua membuat saya semakin ingin menuliskan kepedihan saya kedalam sebuah cerita seperti yang dilakukan oleh penulis dalam novel ini.
Dalam novel ini, penulis yang biasa dipanggil Kang Rahel oleh anak-anak Kubah Budaya menceritakan sebuah pengalaman pribadinya ketika ia mengenyam pendidikan di Untirta. Saya melihat ada beberapa nama dosen yang disamarkan dalam cerita ini. Sepertinya saya mengenal sosok dosen yang sering disebut-sebut dalam novel ini seperti Pak Waher dengan batu akiknya, Pak Arwan dengan materi-materi gombalnya dan semoga saya tidak salah membayangkan siapa dosen yang diceritakan oleh Kang Rahel dan mungkin jika dosen tersebut sempat membaca novel ini, maka mereka akan tertawa dan merasa sedikit jengkel karena beberapa kekonyolannya terbongkar ketika sedang mengajar mahasiswanya dan mencoba menggoda pelayan kantin, saya jadi tertawa sendiri ketika menemukan kutipan seperti ini:
”Dan yang membuat Pak Waher tak mau meninggalkan kantin itu adalah kaos pelayan dan celananya yang ketat padat dan berisi. Ada remis-remis bulu di atas bibirnya” (halaman 84).
Saya menjadi geli sendiri dengan pernyataan diatas, “kok ada yah dosen seperti itu?” tapi itu memang ada di kampus Untirta ini, bahkan ada yang terang-terangan menggoda mahasiswinya saat KBM berlangsung. Mungkin manusiawi juga untuk seorang lelaki yang senang melihat keindahan duniawi.  Terkadang saya risih juga kalau sudah memandang kecantikan dalam penilaian di kelas, laki-laki biasanya menjadi korban.
Adakalanya ketika saya membaca novel ini, saya merasa seperti sedang membaca kisah saya sendiri yang diceritakan oleh penulis, mulai dari mengalami kesulitan keuangan saat kuliah, tergila-gila pada seorang wanita yang bertemu dalam tanpa sengaja dalam sebuah bis, perasaan yang bergejolak saat mulai menyukainya, bahkan dengan memberikan sebuah karya untuk seorang wanita dan dengan akhir yang sama yaitu kecewa yang dirasakan, hanya yang membedakannya itu latar belakang keluarganya saja berbeda karena orang tua saya bukan seorang Petani.
Saya rasa cerita dalam novel ini adalah cerita tentang kehidupan nyata Kang Rahel sendiri, karena tokoh Rapie disini begitu hidup dan terkesan tanpa rekayasa, seperti bukan sebuah fiksi tapi sebuah catatan kehidupan Si penulis yang dituangkan ke dalam sebuah cerita. novel ini menjadi menarik ketika penulis menceritakan kisah percintaan Rapie dengan Padma dengan latar belakang yang berbeda, inilah yang sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari, cinta kandas karena kondisi ekonomi, si kaya dan si miskin takkan bisa bersatu seperti langit dan bumi yang mempunyai jarak. Bukan hanya itu, tetapi sebuah lika-liku kehidupan yang dialami oleh Rapie dapat menjadi sebuah motivasi tersendiri bagi pembaca, terutama saya sendiri yang mempunyai tekad yang sama seperti Rapie.
Saya sungguh terkesan akan perjalanan hidup Kang Rahel yang tak pernah menyerah untuk merubah garis kehidupannya. Hal ini menyadarkan saya untuk terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpi untuk menjadi seorang penulis dan dosen, meski silsilah keluarga saya tak ada yang menjadi seorang penulis tapi saya harus menjadi seorang penulis dan karya saya akan menjadi kado ulang tahun untuk Ibuku, tapi entah ulang tahun yang keberapa. Hanya butuh waktu untuk mewujudkannya dan semoga saya bisa belajar dari pengalaman Kang Rehel dalam novel ini, karena novel ini begitu hidup dengan fakta-fakta yang ada dan sangat mudah untuk dicerna oleh saya yang menjadi pembaca.
Saya pernah menyindir orang tua saya dengan novel ini, saya pernah mengatakan kalau orang yang menulis novel ini adalah seorang anak petani, bukan anak seorang yang kaya, jadi bukan hal yang mustahil kalau saya pun akan menjadi seorang penulis seperti Kang Rahel, selama saya masih mau belajar, berusaha dan berdoa. Ada kutipan yang sama persis dengan perkataan orang tuaku, ketika saya selalu pulang malam dari kampus.
“sekolah sampai magrib, pekerjaan yang lain mau dikemanakan? Karena ketidaktahuan bapak, kuliah dianggapnya sama dengan sekolah. Barangkat pagi pulang ba’da dzuhur. Aku diam atas ketidakmengertian bapak mengenai bangku kuliah. ia tidak tahu jam dan pelajaran di kampus.” (halaman 25).
Apa yang Kang Rahel pikirkan ketika itu, sama halnya dengan apa yang saya pikirkan saat mendengarkan perkataan orang tuaku, saya juga merasa kesal dengan pernyataan mereka yang terkadang berfikiran negatif saat saya pulang hingga larut malam, tapi saya mencoba menjelaskan semuanya dengan memberikan pengertian kalau sekolah dengan kuliah itu sangat berbeda.
Novel yang berlatarkan tempat di kampus Untirta, sangat memudahkan saya untuk masuk lebih cepat kedalam isi cerita, karena bisa langsung membayangkan tempat yang diceritakan dalam novel ini, bahkan saya melayang dengan imajinasi saya terhadap tempat tersebut, seperti pos penjaga gerbang, saya langsung teringat pada Pak Adit satpam Untirta yang sudah standby dengan kartu parkir bertuliskan 1000 rupiah, pohon ketapang yang selalu ramai dengan Stand LDK tetapi bayangan saya terhenti ketika membaca kutipan berikut:  “Padma meninggalkanku di depan Fakultas Bahasa dan Sastra itu” (halaman 61).
Dari kutipan diatas saya langsung berfikir, memang di Untirta ada Fakultas Bahasa dan Sastra? Mungkinkah ini keteledoran penulis dalam menyebutkan salah satu nama tempat di Untirta. Gara-gara kutipan di atas, saya harus membaca ulang kalimat tersebut beberapa kali, untuk memastikan saya tidak salah memahami maksud dari bacaan tersebut.
Pada lembar-lembar berikutnya, Saya kurang sependapat dengan Kang Rahel saat menceritakan kejadian mendatangi kiyai di Banten dan kiyai itu yang sudah bisa menebak maksud dan tujuannya datang kepadanya, biasanya Kiayi tak menunjukkan kesaktiannya secara langsung. Mungkin saja Kang Rahel keliru dalam membedakan antara kesaktian Kiyai dengan kesaktian Dukun dan yang saya tahu Kiayi tidak seperti itu. Kiyai lebih terlihat santai dan penuh wibawa, berbeda dengan karakter seorang Kiayi yang diceritakan dalam novel ini.
Ada hal yang saya kurang suka dalam novel ini, karena tokoh Rapie yang terlalu mengambing-hitamkan perihnya kehidupan yang dialaminya, apapun yang terjadi pada dirinya, Rapie terkesan selalu menyalahkan nasibnya sebagai anak seorang petani miskin, seperti saat menyimpan perasaannya kepada Padma, dia berfikir dia tak pantas untuknya karena keadaan keluarganya yang serba tak punya. Padahal menurut saya, perasaan suka itu wajar saja, datang tanpa diminta dan tidak membedakan kaya atau miskinya. Sehingga tokoh Rapie disini terlihat berlebihan dalam mengartikan sebuah kehidupan. Aku melihat Rapie yang cengeng untuk masalah perasaan, terlalu melankolis untuk seorang lelaki yang besar dikerasnya kehidupan. Selain dari itu, ada beberapa cerita yang tidak diteruskan oleh Kang Rahel dalam novel ini sehingga saya merasa ambigu dalam mengartikan jalan ceritanya dan saya rasa ada judul kecil yang tidak terlalu penting untuk diceritakan, mungkin lebih baik digabungkan dengan judul kecil ada di halaman selanjutnya karena tidak ada hubungan dengan judul kecil yang ada di halaman berikutnya.
Perasaanku ketika saya membaca novel ini seperti perasaan saat menaiki halilintar di Dufan, membuat perasaan saya naik turun, yang awalnya sedih karena kehidupan Rapie yang sulit, adiknya yang kabur dari rumah dan perasaannya yang sakit karena Padma, lantas saya merasa termotivasi oleh ketekunannya, tertawa sendiri karena kelakuan tokoh dalam novel ini, saya kembali merasa sedih, iba dan tertawa sendiri lagi, sehingga orang tua saya yang memerhatikan menyangka saya ‘gila’ sambil tertawa, mencoba mengejek saya yang sedang asik membaca novel ini dan penuh ekspresif, saya ‘gila’ karena novel ini.
Secara keseluruhan, saya senang membaca novel ini karena ceritanya begitu nyata dengan menggunakan setting tempat yang tak asing lagi bagi mahasiswa Untirta, terutama saya yang hampir setiap hari ada di kampus, kecuali Minggu. Dengan kelebihan itulah novel ini menjadi mudah dicerna dan dimengerti oleh pembaca dengan cerita yang mengalir jika dibaca sehingga tak perlu memakan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.

0 komentar:

Posting Komentar