Jumat, 21 Oktober 2011

"mereka Bilang, Saya Monyet!"


ANTOLOGI CERPEN
“MEREKA BILANG, SAYA MONYET!”
Djenar Maesa Ayu

Berbicara tentang Djenar, saya langsung berpikir tentang sosok cerpenis wanita yang terkesan “liar” ketika mengolah kata dalam sebuah cerita. Bagaimana tidak? Dari beberapa cerpen yang ditulisnya, tidak sedikit karyanya berupa sindiran tentang kehidupan sosial yang cenderung berbau seks dan bebas, yang tentunya sering kita jumpai dikehidupan sehari-hari.
Dalam antologi cerpennya yang pertama, saya menemukan realita kehidupan sosial yang digambarkan oleh Djenar dalam sebuah cerita yang menggunakan sosok binatang sebagai tokoh utama dalam ceritanya, yaitu “Mereka bilang, saya monyet!”. Dari judul bukunya saja, Djenar sudah menggambarkan sosok “Saya” sebagai monyet. Namun, pada kenyataan yang terjadi pada tokoh “Saya” adalah hidup dengan penuh kemunafikan yang digambarkannya dengan sosok binatang, yang menganggap dirinya sebagai manusia yang bermartabat, mempunyai hati dan akal pikiran,  namun tingkah lakunya seperti binatang.
Sungguh, sebuah keberanian yang luar biasa. Seorang Djenar menempatkan sesosok manusia yang berkepala buaya dan berbuntut kalajengking dan berdasi. Wanita berkepala anjing yang mempunyai suami dan wanita bergaun indah dengan kepala ularnya kedalam sebuah cerita.
Djenar menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai wanita yang berkepala monyet. Menurut saya, menjatuhkan karakter penulisnya sendiri, hal ini merugikan penulis. Karena tidak ada satupun orang yang mau dan rela bila dipanggil “monyet”. Selain itu, dari isi ceritanya pun sedikit membuat saya sedikit risih dengan adegan yang cukup fulgar untuk sebuah bacaan yang umum. Adapun kutipannya sebagai berikut:
”Saya tahu persis siapa dirinya. Saya tahu persis Si Kepala Anjing berhubungan dengan banyak laki padahal ia sudah bersuami. Saya persis Si Kepala Anjing sering mengendus-ngendus kemaluan Si kepala Srigala. Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-ngendus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama. Tapi tidak di depan umum”. (halaman 8)
Cerpen ini sebuah sindiran terhadap orang-orang yang menggunakan topeng kehidupan sosial saat berada di lingkungan, namun tabiat aslinya tak jauh dari sosok manusia yang berkepala binatang. Djenar menulis sindirannya seperti berikut:
“Namun seperti Si Kepala Anjing, sikap Si Kepala Buaya itu tidak kalah berbudayanya jika berada di tempat umum. Saya yakin, pasti tidak adaa yang mengira kelakuan Si kepala Buaya dan Si Kepala Ular juga Si Kepala Anjing, bahkan semua kepala-kepala binatang ini ketika mereka tidak berada di depan umum.”. (halaman : 9)
Cerpen yang cukup berani dengan unsur seks dan pengkarakteran binatang, sangat menarik untuk dibaca. Bukan hanya dalam cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!”, tetapi terdapat pada cerpen yang berjudul “Lintah”.
 Djenar menggambarkan sesosok “Lintah” yang dijadikan sebagai binatang peliharaan seorang janda. Kita tahu sendiri ”Lintah” merupakan binatang yang tak pernah puas dengan apa yang sudah didapatnya dan dapat membelah dirinya menjadi dua. Lintah di sini dapat berubah  menjadi Ular yang siap memangsa, dan yang menjadi korban adalah anaknya sendiri.
Jika kita membandingkannya dengan cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!” tidak jauh berbeda, karena masih saja ada bagian yang menceritakan tentang hubungan seks yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita tersebut. Seperti pada kutipan dibawah ini:
“Lintah itu sudah berubah menjadi ular kobra yang siap mematuk mangsanya. Matanya warna merah saga menyala. Jiwa saya gemetar. Raga saya lumpuh”.
Dalam cerpen “Durian”,  tokoh utama yang mengkhayal dapat menikmati durian itu membuatnya orgasme. Bagaimana mungkin? Tapi inilah imajinasi seorang Djenar dalam mengembangkan sebuah cerita yang mempunyai nilai seksualitas tinggi. Kita lihat kutipan dalam cerpen “Durian” yang berbau seks.
“Ia ingin menjilati tangannya yan sedikit berdarah tergores duri dan terkena daging buah durian yang sedikit menyeruak ketika ia membukanya, lalu mengambil sebuah dengan tangannya, memasukan perlahan ke dalam mulutnya yang basah, dan mengisap penuh dengan lidahnya hingga tertinggal bijinya yang kini sudah sangat bersih. Hyza mengerang pelan, lalu orgasme”. (halaman 22)
Sebuah kutipan yang membuat saya merasa sedikit geli saat membacanya. Bagaimana tidak? Seseorang wanita yang mengalami orgasme setelah membayangkan memakan buah durian. Ini merupakan sebuah kegilaan Si Penulis, dan juga acungan jempol untuk karyanya.
 Dari antologi cerpen ini, saya menemukan beberapa cerpen yang secara tidak langsung berhubungan dengan dunia seksualitas. Apa yang ditulis Djenar ada kaitannya dengan realita kehidupan kita sekarang ini, yang terang-terangan berhubungan seks di depan umum. Hal ini dibuktikan dengan maraknya video porno yang beredar dengan bebas dimasyarakat. Bukankah itu menyerupai tingkah laku binatang? Yang tentunya tidak merasa malu dan canggung melakukan hubungan seks di depan umum. Maka wajar bila Djenar menulis cerpen-cerpen seperti itu dan masyarakat menyukainya. Namun yang pamenjadi pertanyaan saya, mengapa Djenar begitu dekat dengan cerita-cerita seks yang ada dalam setiap karyanya? Mungkinkan ada hubungannya dengan kehidupan nyata dari seorang Djenar.
Antologi cerpen ini sungguh menarik untuk dibaca, karena memberikan warna baru di dunia sastra Indonesia dan membuka wawasan kita tentang dunia kepenulisan bahwa karya-karya di Indonesia tidaklah monoton yang hanya menampilkan sebuah cerita yang bernuansa cinta dan agama. Inilah yang menjadi daya tarik antologi cerpen ini, yang membuat pembaca masuk kedalam imajinasi yang coba di tuangkan oleh Djenar melalui cerita-ceritanya.

0 komentar:

Posting Komentar