PRESIDEN PRAWIRANEGARA
Akmal Nasery Basral
Novel
sejarah “Presiden Prawiranegara” karya Akmal Nasery Basral merupakan novel
sejarah pertama yang saya baca. Awalnya saya merasa malas untuk membacanya
karena berhubungan dengan sejarah yang saya kira sulit untuk dimengerti dan
terkesan membosankan, tetapi setelah membaca novel ini saya jadi berpikir ulang
bila harus berkata demikian, malah saya merasa harus lebih mempelajari tentang
sejarah Indonesia. Novel yang sangat menggugah pembacanya untuk lebih mengenal
sejarah bangsanya karena masih banyak fakta yang belum terungkap atau terkesan
asing di mata masyarakat.
Ketika
saya membaca novel ini, seolah-olah saya terhanyut ke dalam cerita, sehingga
sayang jika menunda untuk menyelesaikan membacanya sampai selesai. Dengan
cerita yang mengalir dan membuat saya kembali mengingat tentang pelajaran
sejarah sewaktu duduk di bangku sekolah. mencoba mengulas beberapa nama tokoh
dalam sejarah perjuangan Indonesia melawan tentara Belanda yang ingin merebut
kembali NKRI pada sekitar tahun 1948. Namun ada beberapa tokoh yang tidak
pernah saya dengar sama sekali dalam pelajaran sejarah Indonesia seperti Kamil
Koto dan Syafruddin Prawiranegara. Timbul pertanyaan pada diri saya, manakah
tokoh yang merupakan bagian dari sejarah dan fiksi yang ada dalam novel ini?
Namun, pertanyaan itu terjawab ketika saya mengingat perkataan dari Pak Akmal
sendiri tentang kedua tokoh ini. “Kamil
Koto merupakan sebuah tokoh fiksi yang dimasukan kedalam cerita, sedangkan
Syafruddin Prawiranegara adalah tokoh nyata dalam sejarah yang ada dalam
cerita”. Beruntung sekali saya datang ke acara bedah karya yang diadakan
oleh Rumah Dunia, karena mendapatkan
pencerahan langsung dari penulisnya untuk mengapresiasi novel ini.
Kepiawaian
Akmal dalam mengolah fakta menjadi sebuah cerita, bisa saya acungkan jempol
dengan menggunakan tokoh Kamil Koto sebagai tokoh fiksi atau imajinasi yang
dengan gamblang menceritakan kejadian sebenarnya ke dalam sebuah alur cerita. Penulis
mencoba menjelma menjadi tokoh Kamil, dengan demikian penulis seakan masuk
dalam bagian sejarah yang ada dalam cerita tersebut. Namun ada ganjalan dalam
hati saya ketika membaca judul novel ini, mengapa judulnya harus “Presiden
Prawiranegara” sedangkan kita tahu sendiri bahwa presiden indonesia adalah
Soekarno dan setelahnya barulah Soeharto yang menggantikannya, tidak ada nama Syafrudin dalam
deretan nama presiden Indonesia sampai
saat ini. Pertanyaan inilah yang tak sempat saya tanyakan kepada penulis saat
bertatap muka dengannya di Rumah Dunia.
Selain
itu dalam novel ini, Akmal menceritakan tentang seorang tokoh Nasional yang
asing kita dengar, tokoh tersebut adalah Syafruddin Prawiranegara. Beliau
menjadi presiden selama 207 hari ketika harus menggantikan Bung Karno yang pada
saat itu ditangkap oleh tentara Belanda. Sosok Pak Syaf atau biasa dipanggil
kuding ini merupakan seorang tauladan untuk para pejabat di Indonesia. Seharusnya novel ini dibagikan ke semua pejabat-pejabat,
agar mereka tahu bagaimana sosok Pak Syaf yang ketika itu menjadi menteri
keuangan yang merangkap sebagai menteri kemakmuran, tetapi tidak mampu membeli
kain gurita untuk anaknya sehingga menggunakan sobekan kain seprei untuk
dijadikan kain gurita. Sebuah kenyataan yang sangat miris untuk seorang yang
ketika itu menjadi Menteri Keuangan.
Novel
yang mengawinkan antara sejarah dengan fiksi membuat pembaca “tersesat” dalam
mengenal sejarah karena tak semua orang tahu tentang sejarah indonesia yang
sebenarnya, sehingga sulit untuk membedakan mana cerita aslinya dan mana cerita
fiksinya. Namun novel memang merupakan sebuah fiksi meskipun dalam ceritanya
mengandung unsur sejarah. Begitu pula dengan beberapa novel Akmal yang lainnya
seperti “sang pencerah”.
Saya
pernah berpikir dari mana Akmal bisa tahu tentang sejarah Presiden Syafruddin
ini, saya sendiri tak pernah mendengar sosok pahlawan yang begitu berjasa untuk
Indonesia. Bagaimana dia tahu panggilan pak Syaf itu adalah Kuding, mungkin
saja berdasarkan sumber yang jelas, dan itu terbukti dari tulisannya yang
mencantumkan beberapa nama anaknya dalam cerita. Ketika saya bertanya langsung
pada Akmal dalam kesempatan bedah buku “presiden Prawiranegara” tentang sumber
referensi yang digunakan dalam penggarapan novel ini, karena novel ini
merupakan novel sejarah yang harus membeberkan fakta yang sebenarnya meskipun
akan bercampur dengan daya imajinasi penulis dalam merangkai sejarah ke dalam
cerita, dan beliau pun menjawab:
“novel ini digarap tanpa referensi buku,
melainkan menggunakan pengamatan langsung dari narasumber seperti anak-anak Pak
Syaf beserta kerabatnya dan juga dengan mengambil bukti-bukti berupa surat yang
dikirim jendral Nasution kepada Pak Syaf dan kemudian untuk Jendral sudirman,
surat itu didapatnya dari Arsip Nasional yang bertempat di Kemang”.
(Rumah dunia,
04-10-2011)
Secara
pribadi, saya salut dengan beliau yang begitu serius dalam menggarap novel ini,
dengan melakukan pengumpulan beberapa data yang akurat untuk memperkenalkan
Sosok Syafruddin Prawiranegara. Selain itu, beliau mengupas sejarah Indonesia
yang terkesan menghilangkan sosok pak Syaf dari deretan nama-nama pahlawan
negeri ini, yang saya kira pantas untuk dijadikan pahlawan Nasional berkat
tugasnya yang sangat berat dalam memimpin Indonesia saat Soekarno-Hatta ditahan
Belanda. Timbul lagi pertanyaan baru dalam benak saya, mengapa pak Syaf tidak diperkenalkan melalui
pelajaran sejarah Indonesia? Pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini.
Novel
ini sebenarnya menjadi menarik ketika Akmal mendramatisir setiap kejadian yang
dilalui oleh setiap tokoh dalam cerita ini, ditambah dengan fakta-fakta yang
cukup mecengangkan sekaligus menjadi tamparan bagi kita semua. Pejabat negara
yang mampu mengemban amanah tanpa pamrih, dengan sikap keras yang mengalir
dalam darah pak Syaf membuatnya legowo
dalam setiap kondisi. Beliau tak ingin menggunakan uang dan fasilitas negara
untuk kepentingannya pribadi, sungguh berbeda jauh dengan pejabat-pejabat
sekarang yang seenaknya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya,
mungkin mereka lupa akan sejarah. Bisa jadi meraka tak pernah belajar tentang
sejarah Indonesia.
Paragraf
demi paragraf saya baca karena rasa penasaran dengan alur cerita ini, sehingga ada
beberapa kata yang membuat saya sedikit tercengang dengan perkataan Lyly kepada
anaknya saat menjelaskan keadaan ekonomi keluarganya pada saat itu.
“ayahmu Menteri Keuangan, Icah,” Lily
menyeka matanya yang basah. Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang
untuk membeli kain gurita bagi adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau ibu tidak
alamisendiri kejadian itu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini
nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk
membeli sepotong kain gurita.” (halaman 25).
Pernah
saya berpikir kalau saja para petinggi negara memiliki sifat seperti pak Syaf,
pastilah rakyat Indonesia menjadi makmur karena uangnya tidak disalah gunakan, poin
lebih untuk sosok pak Syaf yang mulai saya kagumi karena keteguhannya dalam
menghadapi cobaan dan tetap menjadi seorang tokoh yang religius. Namun
sepertinya itu mustahil, karena zaman sudah berubah, bagi mereka “jujur sama saja tak makan”!. Dan
menurut saya kejujuran merupakan barang langka di Negeri ini, wajar saja saya
beranggapan demikian karena Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk negara
terkorupsi sedunia. Semoga pak Syaf tenang di alamnya sekarang karena kondisi
ini, Amin.
Ada beberapa hal yang saya sesalkan
tentang novel ini, karena ada beberapa cerita yang terpotong sehingga saya
sebagai pembaca merasa repot karena harus meneruskan cerita dengan pemikiran
saya sendiri. Seandainya saja, cerita-cerita itu teruskan terlebih dahulu
sebelum menceritakan kejadian lain, pastilah pembaca akan lebih cepat
menyelesaikan membaca novel ini. Ketika sebuah cerita terpotong dan harus
berganti pada kejadian lain dapat memecahkan konsentrasi saya sebagai pembaca.
Ketika
selesai membaca novel ini saya merasa sedikit menyenangi sejarah, mengingatkan
saya atas kemunafikan saya untuk tidak mengenal sejarah bangsa sendiri. saya
lupa akan perjuangan, yang tak kenal lelah untuk mempertahankan tanah air untuk
anak cucunya kelak, sungguh sebuah perjalanan yang berliku dan penuh aral
lintang menghadang, tapi mereka tak pernah menyerah, sehingga kita tetap
menjadi sebuah kedaulatan sampai saat ini.
Penulis
dalam novel ini ingin menyampaikan pesan kepada khalayak umum sebagai pembaca dapat
mengisi kemerdekaan ini dengan lebih memaknai kemerdekaan itu dengan
menghormati sejarah yang telah tertoreh pada bangsa ini. Betapa sulitnya
perjuangan para pahlawan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI dengan taruhan
nyawa. Maka sudah sewajarnya kita melakukan hal yang berguna bagi bangsa,
dengan cara apapun yang kita bisa. Saya begitu terharu dengan perjuangan yang
dilakukan oleh Pak Syaf beserta kawan-kawannya, karena tanpa mereka, mungkin
saja kita sampai saat ini masih terjajah belanda. Saya bersyukur telah membaca
novel ini, karena setelah itu saya merasa terpanggil untuk memaknai kemerdekaan
dengan cara saya sendiri, yaitu dengan cara belajar beserta
pengaplikasiannya.
0 komentar:
Posting Komentar