Jumat, 21 Oktober 2011

PRESIDEN PRAWIRANEGARA




PRESIDEN PRAWIRANEGARA
Akmal Nasery Basral

Novel sejarah “Presiden Prawiranegara” karya Akmal Nasery Basral merupakan novel sejarah pertama yang saya baca. Awalnya saya merasa malas untuk membacanya karena berhubungan dengan sejarah yang saya kira sulit untuk dimengerti dan terkesan membosankan, tetapi setelah membaca novel ini saya jadi berpikir ulang bila harus berkata demikian, malah saya merasa harus lebih mempelajari tentang sejarah Indonesia. Novel yang sangat menggugah pembacanya untuk lebih mengenal sejarah bangsanya karena masih banyak fakta yang belum terungkap atau terkesan asing di mata masyarakat.
Ketika saya membaca novel ini, seolah-olah saya terhanyut ke dalam cerita, sehingga sayang jika menunda untuk menyelesaikan membacanya sampai selesai. Dengan cerita yang mengalir dan membuat saya kembali mengingat tentang pelajaran sejarah sewaktu duduk di bangku sekolah. mencoba mengulas beberapa nama tokoh dalam sejarah perjuangan Indonesia melawan tentara Belanda yang ingin merebut kembali NKRI pada sekitar tahun 1948. Namun ada beberapa tokoh yang tidak pernah saya dengar sama sekali dalam pelajaran sejarah Indonesia seperti Kamil Koto dan Syafruddin Prawiranegara. Timbul pertanyaan pada diri saya, manakah tokoh yang merupakan bagian dari sejarah dan fiksi yang ada dalam novel ini? Namun, pertanyaan itu terjawab ketika saya mengingat perkataan dari Pak Akmal sendiri tentang kedua tokoh ini. “Kamil Koto merupakan sebuah tokoh fiksi yang dimasukan kedalam cerita, sedangkan Syafruddin Prawiranegara adalah tokoh nyata dalam sejarah yang ada dalam cerita”. Beruntung sekali saya datang ke acara bedah karya yang diadakan oleh Rumah Dunia, karena mendapatkan pencerahan langsung dari penulisnya untuk mengapresiasi novel ini.
Kepiawaian Akmal dalam mengolah fakta menjadi sebuah cerita, bisa saya acungkan jempol dengan menggunakan tokoh Kamil Koto sebagai tokoh fiksi atau imajinasi yang dengan gamblang menceritakan kejadian sebenarnya ke dalam sebuah alur cerita. Penulis mencoba menjelma menjadi tokoh Kamil, dengan demikian penulis seakan masuk dalam bagian sejarah yang ada dalam cerita tersebut. Namun ada ganjalan dalam hati saya ketika membaca judul novel ini, mengapa judulnya harus “Presiden Prawiranegara” sedangkan kita tahu sendiri bahwa presiden indonesia adalah Soekarno dan setelahnya barulah Soeharto yang menggantikannya, tidak ada nama Syafrudin dalam deretan nama presiden Indonesia sampai saat ini. Pertanyaan inilah yang tak sempat saya tanyakan kepada penulis saat bertatap muka dengannya di Rumah Dunia.
Selain itu dalam novel ini, Akmal menceritakan tentang seorang tokoh Nasional yang asing kita dengar, tokoh tersebut adalah Syafruddin Prawiranegara. Beliau menjadi presiden selama 207 hari ketika harus menggantikan Bung Karno yang pada saat itu ditangkap oleh tentara Belanda. Sosok Pak Syaf atau biasa dipanggil kuding ini merupakan seorang tauladan untuk para pejabat di Indonesia.  Seharusnya novel ini dibagikan ke semua pejabat-pejabat, agar mereka tahu bagaimana sosok Pak Syaf yang ketika itu menjadi menteri keuangan yang merangkap sebagai menteri kemakmuran, tetapi tidak mampu membeli kain gurita untuk anaknya sehingga menggunakan sobekan kain seprei untuk dijadikan kain gurita. Sebuah kenyataan yang sangat miris untuk seorang yang ketika itu menjadi Menteri Keuangan.
Novel yang mengawinkan antara sejarah dengan fiksi membuat pembaca “tersesat” dalam mengenal sejarah karena tak semua orang tahu tentang sejarah indonesia yang sebenarnya, sehingga sulit untuk membedakan mana cerita aslinya dan mana cerita fiksinya. Namun novel memang merupakan sebuah fiksi meskipun dalam ceritanya mengandung unsur sejarah. Begitu pula dengan beberapa novel Akmal yang lainnya seperti “sang pencerah”.
Saya pernah berpikir dari mana Akmal bisa tahu tentang sejarah Presiden Syafruddin ini, saya sendiri tak pernah mendengar sosok pahlawan yang begitu berjasa untuk Indonesia. Bagaimana dia tahu panggilan pak Syaf itu adalah Kuding, mungkin saja berdasarkan sumber yang jelas, dan itu terbukti dari tulisannya yang mencantumkan beberapa nama anaknya dalam cerita. Ketika saya bertanya langsung pada Akmal dalam kesempatan bedah buku “presiden Prawiranegara” tentang sumber referensi yang digunakan dalam penggarapan novel ini, karena novel ini merupakan novel sejarah yang harus membeberkan fakta yang sebenarnya meskipun akan bercampur dengan daya imajinasi penulis dalam merangkai sejarah ke dalam cerita, dan beliau pun menjawab:
“novel ini digarap tanpa referensi buku, melainkan menggunakan pengamatan langsung dari narasumber seperti anak-anak Pak Syaf beserta kerabatnya dan juga dengan mengambil bukti-bukti berupa surat yang dikirim jendral Nasution kepada Pak Syaf dan kemudian untuk Jendral sudirman, surat itu didapatnya dari Arsip Nasional yang bertempat di Kemang”.
 (Rumah dunia, 04-10-2011)
Secara pribadi, saya salut dengan beliau yang begitu serius dalam menggarap novel ini, dengan melakukan pengumpulan beberapa data yang akurat untuk memperkenalkan Sosok Syafruddin Prawiranegara. Selain itu, beliau mengupas sejarah Indonesia yang terkesan menghilangkan sosok pak Syaf dari deretan nama-nama pahlawan negeri ini, yang saya kira pantas untuk dijadikan pahlawan Nasional berkat tugasnya yang sangat berat dalam memimpin Indonesia saat Soekarno-Hatta ditahan Belanda. Timbul lagi pertanyaan baru dalam benak saya,  mengapa pak Syaf tidak diperkenalkan melalui pelajaran sejarah Indonesia? Pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini.
Novel ini sebenarnya menjadi menarik ketika Akmal mendramatisir setiap kejadian yang dilalui oleh setiap tokoh dalam cerita ini, ditambah dengan fakta-fakta yang cukup mecengangkan sekaligus menjadi tamparan bagi kita semua. Pejabat negara yang mampu mengemban amanah tanpa pamrih, dengan sikap keras yang mengalir dalam darah pak Syaf membuatnya legowo dalam setiap kondisi. Beliau tak ingin menggunakan uang dan fasilitas negara untuk kepentingannya pribadi, sungguh berbeda jauh dengan pejabat-pejabat sekarang yang seenaknya menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya, mungkin mereka lupa akan sejarah. Bisa jadi meraka tak pernah belajar tentang sejarah Indonesia.
Paragraf demi paragraf saya baca karena rasa penasaran dengan alur cerita ini, sehingga ada beberapa kata yang membuat saya sedikit tercengang dengan perkataan Lyly kepada anaknya saat menjelaskan keadaan ekonomi keluarganya pada saat itu.
“ayahmu Menteri Keuangan, Icah,” Lily menyeka matanya yang basah. Ayah mengurusi uang negara, tetapi tidak punya uang untuk membeli kain gurita bagi adikmu Khalid yang baru lahir. Kalau ibu tidak alamisendiri kejadian itu, ibu pasti bilang itu khayalan pengarang. Tapi ini nyata. Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang negara, meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.” (halaman 25).
Pernah saya berpikir kalau saja para petinggi negara memiliki sifat seperti pak Syaf, pastilah rakyat Indonesia menjadi makmur karena uangnya tidak disalah gunakan, poin lebih untuk sosok pak Syaf yang mulai saya kagumi karena keteguhannya dalam menghadapi cobaan dan tetap menjadi seorang tokoh yang religius. Namun sepertinya itu mustahil, karena zaman sudah berubah, bagi mereka “jujur sama saja tak makan”!. Dan menurut saya kejujuran merupakan barang langka di Negeri ini, wajar saja saya beranggapan demikian karena Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk negara terkorupsi sedunia. Semoga pak Syaf tenang di alamnya sekarang karena kondisi ini, Amin.
            Ada beberapa hal yang saya sesalkan tentang novel ini, karena ada beberapa cerita yang terpotong sehingga saya sebagai pembaca merasa repot karena harus meneruskan cerita dengan pemikiran saya sendiri. Seandainya saja, cerita-cerita itu teruskan terlebih dahulu sebelum menceritakan kejadian lain, pastilah pembaca akan lebih cepat menyelesaikan membaca novel ini. Ketika sebuah cerita terpotong dan harus berganti pada kejadian lain dapat memecahkan konsentrasi saya sebagai pembaca.
Ketika selesai membaca novel ini saya merasa sedikit menyenangi sejarah, mengingatkan saya atas kemunafikan saya untuk tidak mengenal sejarah bangsa sendiri. saya lupa akan perjuangan, yang tak kenal lelah untuk mempertahankan tanah air untuk anak cucunya kelak, sungguh sebuah perjalanan yang berliku dan penuh aral lintang menghadang, tapi mereka tak pernah menyerah, sehingga kita tetap menjadi sebuah kedaulatan sampai saat ini.
Penulis dalam novel ini ingin menyampaikan pesan kepada khalayak umum sebagai pembaca dapat mengisi kemerdekaan ini dengan lebih memaknai kemerdekaan itu dengan menghormati sejarah yang telah tertoreh pada bangsa ini. Betapa sulitnya perjuangan para pahlawan untuk mempertahankan kedaulatan NKRI dengan taruhan nyawa. Maka sudah sewajarnya kita melakukan hal yang berguna bagi bangsa, dengan cara apapun yang kita bisa. Saya begitu terharu dengan perjuangan yang dilakukan oleh Pak Syaf beserta kawan-kawannya, karena tanpa mereka, mungkin saja kita sampai saat ini masih terjajah belanda. Saya bersyukur telah membaca novel ini, karena setelah itu saya merasa terpanggil untuk memaknai kemerdekaan dengan cara saya sendiri, yaitu dengan cara belajar beserta pengaplikasiannya. 

0 komentar:

Posting Komentar