Sabtu, 31 Desember 2011

perbandingan cerpen :"Clara" dengan "Aku Ingin Menjadi Clara"


Desma Yuliadi Saputra
2222100681
3A Apresiasi Prosa Fiksi

Apresiasi dan perbandingan
Cerpen Clara dan Cerpen Aku Ingin Menjadi Clara
Seno Gumira Ajidarma

Sudah beberapa minggu ini saya sedang belajar menulis sebuah cerpen, saya mencoba untuk mengirimnya ke beberapa situs internet yang mengadakan sayembara penulisan cerpen, tapi belum ada hasil yang memuaskan karena terkadang saya merasa sulit untuk menuangkan isi pikiran ke dalam kata-kata, tapi melihat Cerpen Seno yang berjudul Clara, dia begitu bebas untuk mengekspresikan kejadian di era reformasi. Sungguh sebuah penulis yang memang kreatif. Berkat cerpen ini saya menjadi semangat kembali untuk menulis cerpen karena saya mendapat inspirasi untuk menulis seperti apa yang di lakukan Seno. Menulis dari apa yang kita lihat di sekitar kita.
Membaca cerpen Clara karya Seno Gumira Ajidarma seperti sedang membaca ulang peristiwa kericuhan besar-besaran yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto, waktu itu saya pernah membaca surat kabar bekas yang menceritakan tentang pemerkosaan, penjarahan dan pembunuhan terhadap orang Cina yang sedang berada di Indonesia. Waktu itu umur saya belum cukup untuk mengerti tentang masalah itu, jadi saya hiraukan saja dan tak ingin ambil pusing. Tetapi sekarang saya baru sadar ketika membaca novel ini, begitu sangat kejamnya perbedaan di Indonesia kala itu. Clara yang diperkosa ramai-ramai hanya karena dia orang Cina. Cerpen ini cukup membuat saya merasa penasaran dalam setiap membaca paragrafnya karena dalam cerpen ini Clara menjadi seorang korban yang sedang dimintai keterangan oleh wartawan yang juga akhirnya malah memperkosanya juga. Pantas saja di awal cerita Seno menuliskan “barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi” untuk tokoh ‘Aku’ yang sedang mengintrogasi Clara.
Andai saja cerpen ini bermetamorfosis menjadi sebuah novel pasti akan sangat menarik karena dari alurnya begitu membuat pembaca penasaran, seperti nasib Clara selanjutnya, saya tidak tahu keadaan dia seperti apa, apa yang dilakukan oleh orang itu terhadapnya ketika Clara disuruh untuk tidur di bangku panjang dan bodohnya lagi, kenapa saya jadi memikirkan nasib Clara yang justru hanya sebuah tokoh fiktif, untung saja pacar saya tidak bisa membaca pikiran saya yang sempat memikirkan wanita lain, Clara. Sebenarnya saya merasa iba dengan Clara yang diperkosa tapi timbul juga pertanyaan, mengapa dia diperkosa hanya karena dia keturunan Cina? Karena dalam cerpen ini, saya melihat Seno seperti sedang menunjukkan kebencian Indonesia terhadap keturunan Cina.  
Cerpen Clara ini memang memberika efek yang beragam terhadap pembaca, ada yang bertanya-tanya tentang nasib Clara, keadaan dia sekarang seperti pertanyaan yang ada dalam pikiranku saat membaca cerpen ini. Dan ada juga orang yang malah terinspirasi dari Cerpen Clara ini. Sungguh merasa geli rasanya saat saya membaca cerpen yang berjudul “Aku Ingin Menjadi Clara”. Saat membaca judulnya saja sudah timbul pertanyaan,  mana ada orang yang ingin diperkosa seperti Clara, jika ada? Sungguh gila wanita itu. Cerpen “Aku Ingin Menjadi Clara” lebih menarik dibandingkan dengan cerpen yang menjadi inspirasinya itu, karena alurnya tak bisa saya tebak. Sekain dari itu, penulis begitu piawai dalam mengembangkan ceritanya dan sangat menarik perhatian saya untuk membacanya berulang-ulang.
Saya merasa sangat kasihan terhadap lelaki yang menjadi pacarnya karena wanitanya malah ingin diperkosa seperti Clara, hancur rasanya bila lelaki itu adalah saya. Terlintas dibenak saya untuk tidak memberikan cerpen Clara kepada pacar saya karena saya takut nantinya dia malah ingin menjadi Clara, semoga saja tidak sampai demikian, apalagi diakhir cerita cerpen ini yang diperkosa malah lelakinya oleh beberapa lelaki homoseksual. Saya ngeri membayangkannya jika itu benar-benar terjadi. Awalnya saya mengira bahwa wanita itu akan sampai pada tujuannya untuk diperkosa karena saya “mana ada kucing yang menolak saat diberikan  ikan” tapi ceritanya memang tak bisa ditebak dan malah lelaki itu yang diperkosa ramai-ramai dan seakan lelaki itulah yang menjadi Clara sesungguhnya. Sebenarnya pemerkosaan itu tidak perlu diminta, tapi sebuah tindakan yang dilakukan secara tiba-tiba, jadi yang dilakukan oleh wanita yang ingin menjadi tokoh Clara itu sebuah tindakan sia-sia,dan itu sebuah suka rela untuk digauli bukan lagi pemerkosaan.
Suatu ketika saya pernah berdiskusi dengan teman-teman saya untuk membahas kedua cerpen yang ditugaskan oleh dosen prosa fiksi. Di akun Facebook Prosa Fiksi malah ada yang menulis ingin menjadi pemerkosa Clara, dan terkesan lucu juga karena pembahasannya malah berbau mesum. Kejadian itu malah menjadi sebuah candaan kami saat menghisap rokok dan meneguk kopi ketika berada di kantin. Sungguh efek yang beragam dari dua buah cerpen. Menurut saya, penulis sudah berhasil mempengaruhi pembaca dengan karyanya karena begitu banyak efek yang terjadi setelah membaca kedua  cerpen ini. Hanya saja saya merasa risih jika saya bernasib seperti lelaki yang malah diperkosa saat mencari kekasihnya yang  meminta diperkosa. Cerita dalam cerpen ini sangat ‘gila’ dan benar-benar ‘gila’ dengan sedikit kata-kata fulgar yang membuat pembaca jadi berhalusinasi saat membaca adegan pemerkosaan itu.
Setiap kali saya sedang berada di kantin, teman saya langsung menghamiri saya dengan tersenyum geli dan bertanya “ sudah ketemu dengan Clara?” saya tertawa terbahak-bahak jika mendengar kata itu karena orang yang berminat menjadi pemerkosa itu adalah teman saya, bukan saya. Terkadang kami pun menggoda beberapa mahasiswa baru dengan memanggilnya Clara bahkan sempat menyakan “kamu Clara ya?” dan itu pun membuat kami menyambung tawa kami dan orang yang kami tanya itu memang orang yang tidak tahu Clara itu siapa dan mungkin tidak tahu apa yang sedang kami pikirkan saat itu.
Saya sangat tertarik dengan tokoh wanita yang ada di dalam cerpen “aku ingin menjadi Clara” karena begitu terobsesinya dia untuk menjadi seorang Clara yang diperkosa oleh beberapa orang yang tidak dikenalnya, mengapa dia ingin diperkosa dan merelakan tubuhnya digerayangi dan dinikmati oleh beberapa lelaki bahkan dia menawarkan diri untuk diperkosa. Entahlah, saya tidak dapat merasakan atau sekedar membayangkan kenikmatan mengapa seorang wanita yang ingin diperkosa karena saya lelaki dan benar-benar lelaki yang menyukai wanita bukan seperti gerombolan lelaki yang menganggapnya sejati karena mereka menyukai sesama lelaki. Sempat ingin menanyakannya hal itu kepada beberapa wanita yang saya kenal tapi saya urungkan niat itu karena saya takut pertanyaan itu malah menyinggungnya dan yang ada saya kena “bogem mentah” dari orang itu yang sudah merasa tersinggung oleh pertanyaan saya itu.
Saya masih tidak mengerti mengapa ada orang yang ingin menjadi Clara, apa mungkin ada sesuatu kenikmatan saat diperkosa? Atau mungkin wanita itu mengalami gangguan jiwa? Entahlah, hanya penulis dan tuhan yang tahu mengapa demikian. Sekiranya saya pernah membayangkan setiap kejadian dari cerpen ini saya merasa ada dalam kejadian itu, dan malah ber menjadi pemerkosanya. Astagfirullah, gara-gara cerpen ini saya jadi gila karena terlalu mendalami isi ceritanya dan mencoba mencari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam benak saya setelah membaca kedua cerpen ini.
Kedua cerpen ini secara garis saling berhubungan dari alur ceritanya, karena sama-sama menceritakan tentang pemerkosaan. Hanya saja yang membedakannya itu, wanita dalam Cerpen Clara itu menjadi korban dan dalam cerpen yang satunya lagi itu malah ingin menjadi korban pemerkosaan. Saya tidak habis pikir dengan wanita itu. Jujur saja, kedua cerpen ini menjadi bahan diskusi saya bersama teman-teman dikampus, saya meluangkan waktu untuk membahas cerpen ini di kantin PKM dan memang menarik untuk didiskusikan karena bagi saya sendiri, kedua cerpen ini telah membuka pemikiran kita untuk mengingat kembali tragedi 1998 dan dampak yang ditimbulkan oleh kejadian itu, selain memakan banyak korban yang berjatuhan sesama mahasiswa dan juga dampak yang masih terasa sampai saat ini adalah krisis moneter yang berkepanjangan. Namun, mengapa yang diceritakan itu hanya tentang pemerkosaannya saja? Mungkinkah hal ini yang lebih menarik dari peristiwa itu? Tapi, memang ini menarik untuk saya, pikiran menjadi sedikit segar dengan setiap adegan-adegan yang ditulis oleh Seno.


Ada hal yang sebenarnya masih mengganjal dalam pemikiran saya setelah membaca cerpen “Aku Ingin Menjadi Clara”. Cerpen tersebut karya Seno ataukah karya orang lain yang memang hanya terinspirasi oleh cerpen Clara, karena Cerpen tersebut tidak dituliskan nama pengarangnya. Apa mungkin cerpen ini hanya merupakan hasil ketik ulang dari buku aslinya karena yang saya terima itu sudah berupa beberapa lembar foto copyannya saja. Terkadang inilah yang membuat saya merasa sedikit kaku untuk mengapresiasikannya saat melihat dari sisi pengarangnya.
Sempat terpikirkan oleh saya, jika saja pacar saya melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh wanita itu dalam cerpen “Aku Ingin Menjadi Clara”, sungguh sangat menderitanya hati saya karena kekasihku ingin diperkosa orang lain sedangkan saya sendiri menjaga kehormatannya dengan baik seperti apa yang dilakukan oleh lelaki yang menjadi tunangannya dalam cerpen ini. Semoga saja tidak ada wanita bodoh yang seperti itu didunia nyata, hal itu menjadi kebobrokan moral yang dapat merusak generasi muda bangsa ini. Dan mana mungkin ada lelaki yang rela pacarnya diperkosa oleh orang lain, apalagi jika dilakukan oleh beberapa lelaki, saya rasa tak ada lelaki yang akan rela dan sama halnya dengan saya pribadi yang ingin mempunyai istri yang masih suci dan tak tersentuh oleh lelaki lain.
Ketika saya sedang berada di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) untuk menghadiri pementasan sastra dalam acara Jilfest ke-2 yang diadakan oleh Dinas Kesenian dan Pariwisata saya sangat berharap dapat bertemu langsung dengan Seno untuk sekedar membahas cerpen ini bersama dengan penulisnya langsung namun beliau tidak ada disana, sedikit kecewa sebenarnya karena yang saya temui di sana hanya beberapa penyair dari luar dan dalam negeri seperti,  Abdul Karim Ibrahim, Ahmad Subahrudin alwi (Cirebon), Sutarji Calzum Bahri dan beberapa penyair lainnya yang sempat mengobrol dan foto bareng saat berada disana. Jika saja Seno berada di sana, saya ingin meminta tanda tangannya karena saya sengaja membawa kumpulan cerpen “Sebuah Pertanyaan tentang Cinta” untuk di tanda tangani oleh penulisnya langsung dan saya ingin sekali menanyakan beberapa hal tentang cerpennya yang memang menarik perhatian saya yang memang menjadi inspirasi saya untuk menulis cerpen kembali.
Saya jadi teringat teman saya yang malah ingin menjadi pemerkosa jika ada yang menawarkan diri untuk diperkosa seperti wanita yang ada dalam cerpen. Mungkin hanya bercanda atau apalah dan yang pasti, itu salah satu dampak setelah membaca cerpen itu. Cerpen yang benar-benar mengganggu pemikiran saya dan beberapa teman saya yang malah menjadi gila karena cerpen ini dengan membicarakan hal-hal yang diluar kewarasan kami. Saya terasa terhipnotis oleh cerpen ini karena beberapa kali memikirkan jika kisahnya terjadi kehidupan nyata dan pelakunya adalah orang yang saya kenal. Saya tak bisa membayangkannya dan tak ingin membayangkannya karena terlalu miris dan keji untuk dirasakan.

Saya baru sadar kalau karya sastra bisa berdampat sedemikian besar terhadap kehidupan pembaca sehari-hari yang memang mendalami isi cerita tersebut. Bagaimana bisa tercipta cerpen baru yang memang menggambarkan kejadian secara garis besarnya dari cerpen yang sebelumnya. Bukankah itu sebuah pengaruh yang baik bukan? Namun selain dari dampak atau pengaruh yang baik, patilah ada pengaruh yang jelek juga terhadap keseharian kita setelah membaca cerpen itu karena sesungguhnya semua yang ada dalam kehidupan ini serupa dengan dua mata koin yang mempunyai sisi berbeda dan kita seolah ada di tengah-tengah bagian itu yang suatu saat akan lebih condong kesalah satu mata koin itu dan semua itu bergantung pada diri kita sendiri.
Secara keseluruhan, kedua cerpen ini memang sangat bagus untuk dibaca dan ditelaah lebih dalam dari segi sejarah seperti pada cerpen Clara dan dari segi psikologi untuk cerpen “aku ingin jadi Clara”. Paragraf demi paragraf memang sangat menarik untuk diselami lebih jauh meski pada saat pertama kali membaca ada beberapa bagian yang membuat saya terhenti untuk membacanya karena kurang paham akan kata-kata yang ditulisnya, namun saat saya membacanya untuk kedua kalinya, barulah bagian-bagian yang saya tidak mengerti itu menjadi sedikit dicerna oleh pemikiran saya sehingga saya merasa bagian dari cerpen itu sudah lengkap untuk dituangkan kembali dalam tulisan dengan pemikiran saya sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar